Thursday, January 14, 2016
Tini, 15 tahun menuliskan catatan ini dalam diary-nya ”Tahun lalu aku merasa iri sekali pada Anita. Nilainya lebih bagus dan lebih berhasil dari aku. Setiap kali bertemu dengannya dan ia duduk di kelas, rasa iri itu kemudian muncul lagi. Bahkan, rasa iri itu berubah menjadi rasa benci. Sampai-sampai kadang aku mengharapkan Anita mendapatkan celaka. Namun, rasa iri ini terus kusimpan baik-baik dan tidak kuperlihatkan. Belakangan ini, ketika bicara dengan Anita pun dia bicara dengan santai dan banyak omong, sementara aku bicara seperlunya, karena kebencianku untuk bicara dengannya. Hingga suatu hari, Anita justru membantu membela aku sewaktu ada guru yang sewenang-wenang akan memotong nilaiku, Anita menyelamatkan nilaiku. Padahal aku masih menyimpan benci padanya. Setelah itulah, aku tahu bahwa Anita sama sekali tidak tahu bagaimana perasaanku padanya. Aku jadi malu sendiri. Sikapnya baik padaku, tetapi akulah yang bersikap buruk dan memelihara perasaan iri ini padanya. Aku merasa malu karena justru aku terus memupuk perasaan buruk ini dalam diriku.” Perasaan iri bisa menjadi penghambat yang luar biasa dalam membangun hubungan. Ketika kita mulai dengan perasaan iri yang tidak sehat maka yang terjadi adalah hubungan yang pura-pura. Jauh di lubuk hati ada kebencian dan keinginan untuk menjatuhkan orang lain tersebut. Ini tentulah tidak sehat. Namun, tanpa kita sadari selain hubungan menjadi buruk, ini juga merusak diri kita sendiri. Ibaratnya seperti makan mangga muda. Memang orang lain tidak akan terlukai, tapi kitalah yang akan sakit perut akhirnya. Rasa iri membuat kita menjadi terganggu, terluka, dan menyimpan perasaan yang dapat melukai diri kita sendiri. Sejauh mana kita membiarkan rasa iri itu menghambat diri kita dan pertemanan kita?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment